Islam Tidak Melarang Menjadi Orang Kaya Lagi Bermanfaat

Harta yang bersih dan halal di tangan orang sholih sangatlah bermanfaat. Ibarat pohon kurma yang tidak menyisakan bagian sedikitpun melainkan seluruhnya bermanfaat untuk manusia.

Ketika harta banyak dan hal tersebut dibawah genggaman orang kaya lagi sholih maka dengan harta nya itu ketika dia ingin menuntut ilmu akan menjadi mudah, ketika beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga menjadi stabil dan beramal sholih semakin tangguh lagi lancar. Karena posisi harta bagi orang kaya lagi sholih bisa dimanfaatkan untuk jalan - jalan kebaikan. 

Sehingga dari sini, harta itu bisa untuk kebaikan juga untuk kejahatan. Maka dalam hal ini, harta itu berada pada posisi netral. Dan syari'at islam mengakui peran dan fungsi harta sangatlah penting bagi kehidupan manusia. 

Maka tidak tercela bagi seseorang, terlebih bagi seorang mukmin yang sholih untuk memiliki harta kekayaan yang banyak, sebagaimana Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : 

نِعْمَ الـمَالُ الصَّالِـح مَعَ الرَّجُل الصَّالِـح

"Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang sholih." (HR. Ibnu Hibban no. 3210, Ahmad no. 197 dan 202. Dishohihkan syaikh Syuaib al-Arnauth dan juga dishohihkan oleh syaikh al Albani dalam kitab takhrij ahadits misykatul faqr hal. 19 dari sahabat Amr bin Ash rodhiyallohu anhu).

Maka harta itu akan menjadi sebuah energi yang memancarkan kekuatan dahsyat untuk masa depan cerah dan meninggalkan anak cucu dalam kecukupan dan tidak menelantarkan anak yang dibawah asuhannya. Alloh Ta'ala berfirman : 

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

"Hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak - anak (keturunan) yang lemah, yang mereka mengkhawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka; maka hendaklah mereka juga takut kepada Alloh (dalam urusan anak yatim orang lain). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataant yang benar (kepada orang lain yang sedang/akan meninggal)." (QS. An Nisaa' : 9) 

Oleh karena itu, memiliki harta tidaklah tercela. Selama harta itu tidak untuk dikuasai sendiri (disimpan untuk kepentingan sendiri), apalagi digunakan untuk hal hal kemaksiatan dan kemungkaran. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

لا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى

"Tidak masalah memiliki kekayaan, bagi orang yang bertaqwa." (HR. Ahmad no. 23228, Ibnu Majah no. 2141, Al-Hakim (2/3) dan dihasankan Syuaib al-Arnauth. Dari jalur Abdullah bin Sulaiman bin Abi Salamah bahwa dia mendengar Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib) 

Jadi, sesungguhnya memiliki harta tidaklah tercela, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang telah Alloh beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

"Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup dan Alloh menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya." (HR. Muslim no. 1054. Dari sahabat Amr bin Ash rodhiyallohu anhu)

Kemudian Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam juga bersabda :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun ghina’ (kaya) adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051. Dari sahabat Abu Hurairah rodhiyallohu anhu)

Dan IsIam juga tidak mencela orang yang hidupnya miskin. Selama dia tetap berusaha untuk menutupi kebutuhan nya dengan jalan bekerja (menjadi pedagang, pegawai/karyawan, petani, peternakan,dll) namun Alloh takdirkan dia dalam kondisi miskin. Dan Alloh Maha Tahu dengan kondisi para hamba-Nya. Sebagaimana Alloh Ta'ala berfirman :

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُۗ اِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

"Seandainya Alloh melapangkan rezeki kepada para hamba - hambaNya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi. Akan tetapi, Dia menurunkan ukuran apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahateliti lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya." (QS. Asy Syu'ara : 27) 

Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata dalam tafsirnya :

ولكن يرزقهم من الرزق ما يختاره مما فيه صلاحهم، 

Akan tetapi, Dia (Alloh) memberikan rezeki kepada mereka, dengan rezeki yang Dia pilih yang di dalamnya ada kemaslahatan mereka.

وهو أعلم بذلك، فيغني من يستحق الغنى، ويفقر من يستحق الفقر. كما جاء في الحديث المروي:

*Dan Dia lebih tahu akan hal itu, maka Dia pun menjadikan kaya orang yang berhak untuk kaya, dan menjadikan miskin siapa saja yang berhak untuk miskin.* Sebagaimana disebutkan dalam hadits : 
 
إن من عبادي لمن لا يصلحه إلا الغنى، ولو أفقرته لأفسدت عليه دينه، وإن من عبادي لمن لا يصلحه إلا الفقر، ولو أغنيته لأفسدت عليه دينه.

"Sesungguhnya ada diantara hamba-Ku orang yang tidak pantas baginya kecuali kaya. Kalau seandainya Aku jadikan dia sebagai orang miskin, niscaya kemiskinannya akan merusak agamanya. Dan diantara hamba-Ku ada orang yang tidak pantas baginya kecuali miskin. Kalau seandainya Aku jadikan dia orang kaya, niscaya kekayaannya akan merusak agamanya."

Oleh karena itu, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda juga : 

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

"Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli surga itu? Mereka itu adalah setiap orang yang lemah dan dianggap lemah oleh para manusia, tetapi jika ia bersumpah atas nama Alloh, pastilah Alloh mengabulkan apa yang disumpahkannya. Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli neraka itu? Mereka itu adalah setiap orang yang keras, kikir dan gemar mengumpulkan harta lagi sombong." (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853 dari sahabat Harits bin Wahb rodhiyallohu anhu).

Disebutkan oleh imam An Nawawi dalam syarh Shohih Muslim, "_Orang yang lemah yang dimaksud adalah orang yang diremehkan orang lain karena keadaan yang lemah ketika di dunia (yakni karena miskin). Ini jika cara bacanya mutadho’af. Bisa juga dibaca mutadho’if yang artinya orang yang rendah diri, lembut hatinya lagi tawadhu’._

Syaikhul IsIam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga menerangkan,

الصَّلاحُ في الفُقَراءِ أكثَرُ مِنهُ في الأَغنِياءِ؛ 

"Kesholihan itu lebih banyak ditemukan pada orang miskin daripada orang kaya.

كما أَنَّهُ إذا كانَ في الأَغنِياءِ كانَ أكْمَلَ مِنهُ في الفُقَراءِ؛ 

Namun, jika orang kaya baik agamanya (lagi sholih), maka itu lebih sempurna daripada orang miskin yang sholih.

لأنَّ فِتنَةَ الغِنى أَعظَمُ مِن فِتنَةِ الفَقرِ والسَّالِمُ مِنها أَقَلُّ، 

Hal ini karena ujian kekayaan lebih berat daripada ujian kemiskinan, dan orang yang selamat dari pengaruh kekayaan lebih sedikit.

فَمَن سَلِمَ مِنها كانَ أَفضَلَ مِمَّن سَلِمَ مِن فِتنَةِ الفَقرِ.

Oleh karena itu, orang yang selamat dari ujian kekayaan lebih baik daripada orang yang selamat dari cobaan kemiskinan." (Majmuʼ al-Fatawa, 11/131). 

Dan Islam sangat mencela kepada para pemalas dan para peminta-minta (pengemis) yang hidupnya selalu bergantung kepada orang lain. Dan al Qur'an sangat memuji orang yang bersabar serta menahan diri dari mencari kebutuhan hidup dibawah kasihani orang lain. Bahkan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam memberi jaminan Surga bagi orang yang mampu memelihara diri untuk tidak meminta-minta (pengemis). 

من يكفل لي أن لا يسأل الناس شيئاً وأتكفل له بالجنة، فقال ثوبان: أنا، فكان لا يسأل أحداً شيئاً

"Siapakah yang bisa menjamin kepadaku bahwa ia tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada orang lain, maka aku menjaminnya masuk Surga? Tsauban berkata; saya ! Maka dia (Tsauban) selama hidupnya tidak pernah meminta-minta sesuatu apapun kepada orang lain."

(HR. Abu Dawud no. 1643, Ahmad no. 22374, an Nasai dalam Sunan al Kubro no. 2371, Ibnu Majah no. 1837. Dishohihkan syaikh Syuaib al-Arnauth dalam takhrij kitab riyadhush sholihin, hal. 535. Dari Tsauban rodhiyallohu anhu) 

Dalam hadits ini, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam memberikan pertanyaan kepada para Sahabat. Suatu pertanyaan yang membangkitkan semangat dan motivasi sahabat agar tidak meminta-minta sesuatu apapun kepada orang lain. Maka maju lah sahabat Tsauban rodhiyallohu anhu menjawab pertanyaan Rosululloh. Dan kita tahu siapa sahabat yang bernama Tsauban rodhiyallohu anhu tersebut ? Seorang maula (budak) Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. 

Dan rata - rata pengemis di jalanan adalah orang mampu nan kuat yang malas bekerja, padahal di balik itu mereka juga kaya. Namun ia terhina karena kemalasannya dan jauhnya mereka dari ilmu agama. 

Padahal kata Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

"Orang miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu (utk mengemis) atau (orang miskin adalah mereka yang) tidak meminta-minta dengan cara memaksa." (HR. Bukhari no. 1476 dari sahabat Abu Hurairah rodhiyallohu anhu).

Demikian uraian yang singkat ini, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Allohu a'lam bish showaab. 

Saudaramu yang faqir ilmu :

Baarokallohu fiikum...

Comments

Popular posts from this blog

Menyikapi Khilafiyah dalam Puasa: Belajar Adab dari Ulama Salaf

𝗠𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮 𝗛𝗲𝗯𝗮𝘁, 𝗦𝘂𝗹𝗶𝘁 𝗗𝗶𝗻𝗮𝘀𝗲𝗵𝗮𝘁𝗶

𝙳𝙸𝙰𝙽𝚃𝙰𝚁𝙰 𝚃𝙰𝙱𝙸𝙰𝚃 𝙱𝚄𝚁𝚄𝙺 𝙼𝙰𝙽𝚄𝚂𝙸𝙰